Selasa, 05 Januari 2010

Kondisioning Sumber Bekas Radium-226


Di Indonesia, Radium-226 digunakan dalam bidang kedokteran dan alat penangkal petir. Atas rekomendasi IAEA, Indonesia menghentikan pemakaian Ra-226. Ra-226 merupakan radionuklida berumur panjang dan dalam masa peluruhannya mengeluarkan gas radon yang berbahaya bagi kesehatan. Kondisioning sumber bekas Ra-226 diawali dengan reduksi volume, dilanjutkan dengan immobilisasi dalam kontainer khusus untuk mengatasi masalah emanasi gas radon yang timbul dari peluruhan Ra-226. Dipilih kontainer Stainless Steel berbentuk kapsul yang ditutup dengan cara dilas. Kapsul ini kemudian dimasukkan ke dalam Long Term Storage Shield (LTSS) yang terbuat dari Pb untuk meminimalkan paparan radiasi yang cukup tinggi.

Pendahuluan
Sampai dengan saat ini aplikasi teknik nuklir dalam bidang kedokteran baik untuk tujuan diagnostik maupun terapi dirasakan sangat bermanfaat. Pemanfaatan radiasi dalam bidang radioterapi sudah berjalan cukup lama di beberapa rumah sakit di Indonesia. Radioterapi merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengobati penyakit dengan memanfaatkan kemampuan radiasi yang dapat membunuh sel-sel yang tumbuh abnormal seperti tumor atau kanker. Brachyteraphy dan teleteraphy adalah suatu radioterapi dengan zat radioaktif sebagai sumber radiasinya. Brachyteraphy dilakukan dengan cara penyinaran pada jarak sangat dekat bahkan pada kondisi tertentu sumber radiasi dimasukkan kedalam tubuh pasien. Di Indonesia sumber radiasi yang digunakan adalah Radium-226, Cs-137, Co-60 dan Ir-192. Sedangkan Teleteraphy dilakukan dengan cara penyinaran dari jarak tertentu terhadap tubuh pasien. Sumber radiasi yang digunakan adalah Cs-137 dan Co-60 [1].
Dimasa yang lampau Indonesia banyak menggunakan Radium-226 sebagai sumber radiasi yang dipakai dalam brachyteraphy. Selain dalam bidang kedokteran, Radium -226 juga dimanfaatkan sebagai penangkal petir. Di negara maju sudah sejak sekitar tahun 1960 an pemakaian Ra-226 baik dalam bidang kedokteran maupun dalam penangkal petir sudah dihentikan, namun demikian di beberapa negara lain sumber Ra-226 hingga saat ini masih ada dengan pemakaian yang sudah mulai berkurang.
Atas rekomendasi IAEA, Indonesia menghentikan pemakaian Ra-226, sehingga saat ini terdapat limbah Ra-226 terutama yang berasal dari bekas pemakaian brachyteraphy. Sumber radium bekas ini masih tersebar di beberapa rumah sakit di Indonesia dan saat ini DEPKES sedang berupaya menarik semua sumber bekas tersebut. Sumber bekas Radium ini harus dikelola dengan tingkat keselamatan yang cukup tinggi (strong safe), karena sumber bekas ini mengandung radionuklida yang berumur paro sangat panjang dan dalam masa peluruh

Undang-Undang No.10 Tahun 1997 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh Badan Pelaksana, dalam hal ini Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sedangkan dalam pasal 24 ayat (1) menyebutkan bahwa penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang wajib mengumpulkan, mengelompokkan atau menyimpan sementara limbah tersebut sebelum diserahkan kepada Badan Pelaksana. Dari kedua pasal ini jelas bahwa pihak penimbul limbah (dalam hal ini rumah sakit atau industri) yang mempunyai limbah radioaktif wajib menyimpan sementara limbah yang dihasilkannya dengan memenuhi standar keselamatan sebelum dikirim ke P2PLR- BATAN[3]

Sumber Radiasi Radium
Radium dengan simbol kimia Ra termasuk jenis radioaktif alam yang mempunyai isotop Ra-226, Ra-224 dan Ra-228. Radium adalah radionuklida yang terbentuk dari peluruhan uranium dan thorium. Sebagian besar Ra-226 berasal dari peluruhan uranium alam (U-238), sedangkan Ra-228 dan Ra-224 berasal dari peluruhan Th-232. Radium-226 merupakan isotop yang biasa dimanfaatkan, memancarkan radiasi alfa dan gama dengan waktu paro 1600 tahun, sedangkan Ra-228 merupakan pemancar beta dengan waktu paro 5,75 tahun dan Ra-224 mempunyai waktu paro 3,66 hari. Isotop-isotop radium meluruh menjadi isotop-isotop radon yang berlainan, misalnya Ra-226 meluruh menjadi Ra-222 dan Ra-228 meluruh menjadi Ra-224 sebelum akhirnya membentuk gas radon (Ra-220)[4].
Untuk keperluan medis, radium yang digunakan mempunyai aktivitas maksimum 4 GBq (100 mg) dengan aktivitas rata-rata sumber sekitar 200 MBq (5,6 mg) untuk yang berbentuk jarum dan sekitar 260 MBq (7mg) untuk yang berbentuk kapsul. Sedangkan untuk pemakaian non medis, radium digunakan dalam aktivitas yang lebih tinggi, misalnya sumber netron Ra-Be mempunyai aktivitas sekitar 20 GBq (5000 mg) dan pemakaian lainnya sekitar 40 GBq (1000 mg).
Aplikasi radium dalam medis dan industri biasanya terbungkus (encapsulated) dalam platina, platina-iridium atau paduan lainnya dan bahkan kadang-kadang dalam emas. Bentuk seperti ini biasanya disebut jarum atau kapsul tergantung dari penggunaannya. Bentuk jarum mempunyai diameter 1,7 mm dan panjang 15 - 20 mm sedangkan kapsul mempunyai diameter 3 mm dan panjang 20 -25 mm. Untuk penggunaan khusus dalam dunia medis dapat menggunakan jarum dengan ukuran sampai 60 mm dan biasa disebut cell. Cell ini berisi jarum yang mempunyai diameter 0,8 mm dan panjang 15 - 45 mm. Gambar 1. menunjukkan berbagai bentuk penggunaan radium dalam dunia medis [2].


Gambar 1. Bentuk dan Dimensi Sumber Radium dalam Bidang kedokteran [2]

Pengelolaan Limbah Bekas Radium

Pengelolaan sumber bekas radium meliputi beberapa tahapan, seperti pada skema yang disajikan pada Gambar 2. [5]

Gambar 2. Tahapan Pengelolaan Sumber Bekas Radium [5]

Preparasi Awal dan Pengepakan
Sumber bekas radium harus dipersiapkan (preparasi) terlebih dahulu untuk pengangkutan ke fasilitas kondisioning. Preparasi meliputi kompilasi data sumber bekas radium, kontrol penanganan dan pengepakan. Riwayat sumber bekas dapat diperoleh dari pemilik sumber dan data ini diperlukan pada pengelolaan sumber tersebut. Personil yang menangani preparasi dan pengangkutan harus memenuhi kualifikasi dan pekerjaan yang dilakukan harus memenuhi standar jaminan mutu. Adapun data-data penting dari sumber tersebut adalah [6]:

  • Pemasok sumber

  • Waktu produksi

  • Aktivitas radionuklida

  • Bentuk fisika dan kimia

  • Dimensi dan geometri sumber

  • Hasil dan waktu pengujian kebocoran

  • Pengguna sumber

  • Pengukuran dosis paparan radiasi

  • Detail shielding

  • Berat total (termasuk shielding)

Informasi dosis paparan radiasi pada jarak tertentu (biasanya 1 m) sangat penting. Kontrol integritas sumber dapat dilakukan dengan inspeksi fisik dan monitoring disekitar sumber terhadap emanasi gas radon dan kontaminasi permukaan.
Semua hal yang akan dilakukan terhadap sumber bekas tersebut harus telah direncanakan sebelum dilakukan penanganan. Sumber harus ditangani menggunakan gunting atau tang panjang dan jangan sekali-kali kontak dengan tangan secara langsung Seluruh operasional penanganan sumber bekas harus dilakukan didaerah yang terkontrol. Daerah sekitar sumber memerlukan pengukuran kontaminasi selama dan setelah penanganan sumber bekas.
Jika didapati adanya kebocoran pada sumber bekas radium, maka sumber tersebut harus segera dipindahkan kedalam kontainer yang sesuai sebelum kemudian dilakukan pengepakan untuk pengangkutan. Disarankan sumber ditempatkan dalam kapsul seperti wadah pada saat kondisioning nanti, kalau perlu disegel untuk sementara.
Jika hal ini tidak memungkinkan, maka sebaiknya sumber ditempatkan dalam kaleng metal yang sederhana yang kemudian disegel untuk mencegah penyebaran kontaminan. Ukuran kaleng diupayakan seminimal mungkin.

Pengangkutan
Seringkali sumber-sumber bekas radium disimpan sementara ditempat pengguna (rumah sakit, lembaga penelitian, industri dan sebagainya) dan kemudian harus diangkut ke fasilitas kondisioning. Pengangkutan sumber harus dilakukan oleh personil yang berpengalaman dalam bidang pengangkutan bahan radioaktif dan harus memenuhi peraturan national dan internasional tentang pengangkutan. Sebelum pengangkutan sumber bekas radium dilakukan harus dipastikan bahwa tingkat radiasi dan kontaminasi berada dalam batas yang diperkenankan. Jika pengangkutan dilakukan hanya dalam 1 negara maka peraturan pengangkutan nasional yang harus dipakai sebagai acuan. Namun jika pengangkutan melibatkan 2 atau lebih negara maka peraturan setiap negara yang terkait harus diakomodasikan. Sangat penting untuk memenuhi setiap persyaratan sebelum dilakukan pengangkutan. [5]

Kondisioning
Dalam rangka meminimalkan pengangkutan bahan radioaktif akan lebih baik jika kondisioning dan penyimpanan sementara sumber bekas radium dilakukan di fasilitas yang sama. Kondisioning harus mempertimbangkan fakta bahwa kriteria penerimaan pada pengelolaan sumber bekas radium yang telah terkondisioning untuk masa depan belum spesifik. Oleh karena itu sebaiknya mempertimbangkan ide retrievability dan reversibility, sehingga teknik kondisioning diupayakan tidak menyulitkan penanganan suatu saat nanti, misalnya harus dihindari kesulitan atau biaya yang tinggi untuk rekondisioning sumber bekas tersebut. Perlu dihindari pengolahan sumber bekas radium dengan langsung imobilisasi dalam matriks tertentu (semen) karena hal ini dirasa belum tentu kompatibel dengan langkah pengolahan dimasa mendatang. Oleh karena itu kondisioning harus dilakukan dengan prinsip kemudahan membongkar kembali sumber tersebut dimasa mendatang.
Reduksi volume yang biasa dilakukan untuk pengelolaan sumber bekas yang direkomendasikan secara praktis adalah dengan melepaskan sumber dari tempatnya.
Kondisioning sumber bekas radium diperlukan sebelum penyimpanan jangka panjang. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah lepasnya bahan radioaktif dan untuk meminimalkan paparan radiasi. Direkomendasikan bahwa pengungkungan sumber bekas tersebut dilakukan dengan enkapsulasi yang mempunyai tingkat integritas yang tinggi sehingga dapat mengatasi masalah emanasi gas radon yang timbul dari peluruhan Ra-226 tersebut. Paparan radiasi harus seminimal mungkin dengan shielding yang tepat. Kontainer shielding harus didisain untuk memaksimalkan keamanan sumber. Adapun proses kondisioning dilakukan dengan tahapan seperti skema yang disajikan pada Gambar 3 [2].

Gambar 3. Skema Pengelolaan Sumber Bekas Ra-226 [2]

Proses kondisioning didalam fasilitas pengolahan limbah diawali dengan pendataan dan inventarisasi sumber bekas Ra yang akan diolah. Sumber bekas Ra dipindahkan dari tempat penyimpanan sementara limbah ke fasilitas pengolahan. Di dalam glove box dilakukan pemilahan pemuatan sumber bekas Ra ke dalam kapsul stainless steel. Disini dilakukan penimbangan setiap sumber bekas Ra yang akan dimasukkan ke dalam kapsul sehingga terpenuhi persyaratan aktivitas atau berat setiap kapsul. Dalam masa peluruhannya sumber bekas Ra akan mengeluarkan gas Radon sehingga kapsul stainless steel harus dilas rapat. Untuk meminimalkan paparan radiasi, pengelasan dilakukan dalam wadah Pb. Untuk menjamin tidak ada kebocoran gas radon dari dalam kapsul maka dilakukan uji kebocoran pada setiap kapsul yang berisi sumber bekas Ra dan yang telah dilas. Media untuk pengujian kebocoran digunakan larutan glycol dengan sistem vacuum. Kapsul yang lolos dari pengujian kebocoran selanjutnya dimasukkan ke dalam Long Term Storage Shield (LTSS) yang terbuat dari Pb dengan maksud untuk meminimalkan paparan radiasi yang cukup tinggi. Gambar 4 menyajikan bentuk kapsul stainless steel, pengelasan kapsul dalam wadah Pb, LTSS dan penempatan LTSS dalam shell drum 200 liter.[2]

Gambar 4. (A) Kapsul Stainless Steel, (B) Pengelasan Kapsul, (C) Long Term Storage Shield (LTSS),(D) Penempatan LTSS dalam Shell Drum 200 Liter [2]

Penyimpanan Sementara
Penyimpanan sementara dapat dilakukan dengan 2 alternatif [6] :

  • Long Term Storage Shield dimasukkan dalam shell drum 200 liter untuk kemudian disimpan di Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Rendah dan Sedang.

  • Long Term Storage Shield dimasukkan dalam drum stainless steel 60 liter untuk kemudian dimasukkan dalam lubang di Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Tinggi (PSLAT).

Pusat Penelitian Pengelolaan Limbah Radioaktif (P2PLR) telah melakukan kondisioning sumber bekas radium. Sumber bekas radium berasal dari rumah sakit yang merupakan bekas radioteraphy dan dari industri yang berasal dari bekas pemakaian penangkal petir.. Berdasarkan atas saran expert IAEA penyimpanan sementara hasil kondisioning dilakukan dengan mengambil alternatif pertama yaitu memasukkan LTSS kedalam shell drum 200 liter dan kemudian disimpan sementara di tempat Penyimpanan Sementara Limbah Radioaktif Aktivitas Rendah dan Sedang.
Harus selalu dipertimbangkan ketahanan paket kondisioning termasuk tanda identititas yang harus tetap jelas selama pereode penyimpanan atau lebih lama lagi. Hal-hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa penyimpanan harus aman, khususnya yang berkaitan dengan radiasi, kontaminasi, resiko kebakaran dan keselamatan fisik lainnya dengan secara kontinyu dilakukan pengontrolan.

Pertimbangan Keselamatan
Pertimbangan faktor keselamatan senantiasa dilakukan dalam setiap langkah pengelolaan limbah radioaktif termasuk pengelolaan sumber bekas radium -266, yang dimulai sejak dari pengangkutan, proses kondisioning sampai dengan penyimpanan sumber radiasi setelah kondisioning.
Selama pengangkutan sumber radiasi dan kontaminasi harus selalu berdasarkan pada batas yang aman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam setiap langkah kegiatan, senantiasa dilakukan pembatasan radiasi sesuai dengan prinsip ALARA. Oleh karena itu keberadaan shielding yang memadai diperlukan selama kegiatan berlangsung. Penggunaan shielding dilakukan sejak dari awal proses yaitu mulai dari preparasi sumber sampai penyimpanan sumber setelah kondisioning. Pengelasan tabung yang berisi sumber bekas pada proses kondisioning dilakukan dalam wadah Pb dngan ketebalan yang cukup dan setelah selesai pengelasan, tabung ditempatkan dalam Long Term Storage Shield (LTSS) yang juga terbuat dari Pb. Pembatasan paparan radiasi masih terus berlanjut dengan penempatan LTSS pada shell drum yang juga berfungsi sebagai shielding dari konkret. Hal ini semua dilakukan untuk meminimalkan paparan radiasi yang ditimbulkan selama kegiatan. Shielding terhadap personil dilakukan dengan pemakaian apron pada personil yang terlibat pada saat bekerja.
Tindakan pencegahan terhadap kontaminasi airborne yang kemungkinan dapat masuk kedalam pernafasan, maka kegiatan kondisioning dilakukan dalam suatu glove box yang berada dalam ruangan yang dilengkapi dengan hepa filter. Hal ini dilakukan karena dalam masa peluruhannya sumber radium akan mengeluarkan gas radon yang cukup berbahaya bagi kesehatan. Terkait dengan hal ini, maka setiap personil yang terlibat pada kegiatan ini selalu menggunakan masker.
Monitoring personil dan daerah kerja selalu dilakukan sejak awal hingga akhir kegiatan. Monitoring personil dilakukan dengan pemakaian dosimeter (film badge maupum cincin) yang segera dievaluasi diakhir kegiatan. Seluruh kegiatan dilakukan dalam daerah yang terkontrol yang selalu dilakukan monitoring terhadap paparan radiasi maupun kontaminasinya. Smear test dan sampling udara dilakukan untuk mengevaluasi kontaminasi dan airborne yang kemungkinan timbul selama kegiatan.
Penyimpanan sementara sumber bekas radium yang telah terkondisioning dilakukan ditempat penyimpanan sementara limbah radioaktif. Daerah ini didisain termasuk dalam daerah yang terkontrol guna membatasi kemungkinan penyebaran kontaminasi radioaktif dan meminimalkan paparan radiasi pengion, yang secara tetap dan kontinyu dilakukan monitoring tingkat radiasi dan kontaminasinya.. Deteksi airborne dan kontaminasi permukaan dilakukan untuk mengetahui kemungkinan adanya kebocoran sumber. Setiap personil yang memasuki daerah ini diharuskan selalu memakai pelindung seperti baju kerja, shoe cover, dosimeter maupun masker). Keamanan tempat penyimpanan antara lain dilakukan dengan memasang monitor dan alarm dan penempatan sumber radiasi pada lubang yang berada pada kedalaman sekitar 6 meter, sedangkan limbah radioaktif yang telah terkondisioning ditemepatkan pada shell drum atau shell beton yang cukup berat.
Penyimpanan lestari sumber bekas radium sesuai dengan konsep penyimpanan tanah dalam (underground repository) yang dapat berada pada kedalaman 500 - 1000 meter dibawah tanah.
Inilah pertimbangan keselamatan yang diupayakan IPLR dalam pengelolaan limbah radioaktif maupun sumber radiasi bekas dengan harapan dapat melindungi pekerja dan masyarakat terhadap pemanfaatan teknologi nuklir baik generasi saat ini maupun generasi mendatang..

Penutup
Dimasa yang lampau Indonesia banyak menggunakan Radium-226 sebagai sumber radiasi yang dipakai dalam brachyteraphy. Selain dalam bidang kedokteran, Radium -226 juga dimanfaatkan sebagai penangkal petir. Atas rekomendasi IAEA, Indonesia menghentikan pemakaian Ra-226. Sumber bekas Radium ini harus dikelola dengan tingkat keselamatan yang cukup tinggi (strong safe), karena sumber bekas ini mengandung radionuklida yang berumur paro sangat panjang dan dalam masa peluruhannya mengeluarkan gas radon yang berbahaya bagi kesehatan. Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif (P2PLR) telah melakukan kondisioning sumber bekas radium yang berasal dari rumah sakit dan dari industri dengan mengacu pada standar IAEA.

Daftar Pustaka
1. BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR;Diktat Pelatihan Petugas Proteksi Radiasi, Jakarta.
2. INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY, Conditioning and Interim Storage of Spent Radium Sources, IAEA-TECDOC-886, Vienna, June 1996
3. Undang- Undang No.10/1997 Tentang Ketenaga Nukliran.
4. TSUGUO GENKA; Radioactivity in Dust, October, 1997.
5. INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY , Handling , Conditioning and Storage of Spent Sealed Radioactive Sources , IAEA-TECDOC-1145, Vienna, 2000
6. M. AL-MUGHRABI, Technical Manual For Conditioning of Spent Radium Sources, IAEA, Vienna, 1998

Penulis : Ir. Aisyah, M.T.
Artikel telah dimuat pada 'Buletin Limbah' Volume 8 No. 2 Tahun 2003 (ISSN:0853-5221)

Natrium Bikarbonat Dapat Memperlambat Progresivitas Penyakit Ginjal Kronik


Pemberian dosis harian natrium bikarbonat atau baking soda (soda kue), yang selama ini sering digunakan untuk membuat kue, membersihkan peralatan dapur, mengobati luka bakar, dan sebagainya – ternyata dapat memperlambat proses penurunan fungsi ginjal pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK) stadium lanjut. Demikian yang dilaporkan dalam Journal of the American Society of Nephrology (JASN). Menurut dr. Magdi Yaqoob dari Royal London Hospital, Inggris, cara mudah dan murah ini juga bermanfaat bagi kualitas hidup dan kondisi klinis pasien.

Penelitian melibatkan 134 orang pasien PGK stadium lanjut dengan kadar bikarbonat darah yang rendah, yaitu dalam kondisi asidosis metabolik. Kepada salah satu kelompok percobaan diberikan tablet yang mengandung natrium bikarbonat dosis rendah tiap hari. Setelah beberapa waktu kemudian, diperoleh hasil yang menakjubkan, dimana laju penurunan fungsi ginjal pada pasien dari kelompok ini sangat rendah – sekitar dua pertiga lebih rendah. Pasien yang menggunakan natrium bikarbonat mengalami penurunan fungsi ginjal dengan kecepatan yang sama besar dengan penurunan fungsi ginjal akibat proses penuaan pada orang normal.

Penurunan fungsi ginjal secara cepat hanya dialami oleh 9 persen pasien dari kelompok ini, jauh lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak menggunakan natrium bikarbonat (45 persen). Pasien yang mendapat natrium bikarbonat juga lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami penyakit ginjal stadium akhir yang memerlukan dialisis. Rendahnya kadar bikarbonat sering dijumpai pada pasien PGK dan kondisi ini dapat mengakibatkan serangkaian masalah atau gangguan kesehatan. Menurut dr Yaqoob, ini merupakan penelitian acak terkontrol pertama mengenai efek bikarbonat terhadap penyakit ginjal. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa ramuan sederhana berupa “soda kue”, jika digunakan dengan tepat, dapat menjadi senyawa yang sangat efektif.

Namun disamping hasil positif yang diperoleh, para peneliti juga mencatat adanya kekurangan dalam penelitian tersebut, yaitu tidak digunakannya kelompok plasebo dan di dalam penelitian sudah diketahui pasien mana saja yang menggunakan natrium karbonat. Untuk itu, mereka akan melakukan studi multisenter guna memastikan efektivitas dari “soda kue”.